Saat ini terdapat dua teori pengukuran yang berkembang dan banyak digunakan dalam merancang dan menganalisis alat ukur atau tes. Pertama adalah teori tes klasik yang dikembangkan sejak tahun 1940 dan telah digunakan secara luas. Teori kedua adalah teori respon butir yang berkembang setelah teknologi komputer berkembang. Teori respon butir lebih rumit dalam perhitungan tapi dapat menyajikan informasi lebih banyak daripada teori tes klasik.
1. Teori Tes Klasik
Pemakaian teori tes klasik dalam kontruksi dan interpetasi skor telah berjalan beberapa dekade lamanya. Menurut Mardapi (1998) teori tes klasik menggunakan model pengukuran yang sangat sederhana, yakni skor yang tampak terdiri dari skor sebenarnya dan skor kesalahan. Orang cenderung memberi skor lebih atau kurang terhadap subjek yang menempuh tes termasuk pada kesalahan spesifik. Selain itu kesalahan spesifik ini bisa disebabkan estimasi kemampuan dari suatu alat ukur yang cenderung lebih besar dari kemampuan sebenarnya atau sebaliknya.
Kesalahan acak bisa terjadi disebabkan kondisi subjek yang diukur. Pada saat pengukuran berlangsung kemungkinan kondisi subjek tidak sama dengan keadaan normalnya. Kondisi subjek yang diukur yang dipengaruhi faktor seperti rasa lelah, susah, senang, sakit, cemas dan sejenisnya selalu berubah-ubah menurut waktu termasuk dalam kesalahan acak.
Hubungan antara Skor Tampak (X), Skor Murni (T) dan Kesalahan Pengukuran (E) dapat ditulis dalam persamaan:
X = T + E
Teori Tes Klasik berpegang pada 3 asumsi dasar, yakni:
- Tidak ada korelasi antara skor sebenarnya dan skor kesalahan
- Tidak ada korelasi antara kesalahan acak pada pengukuran yang dilakukan berulang-ulang.
- Rerata kesalahan acak pengukuran sama dengan nol
Berdasarkan asumsi di atas diperoleh bahwa varians skor sebenarnya (Vt) dan varians skor kesalahan (Ve) dan varians Skor Tampak (Vt) dapat ditulis sebagai:
Vx = Vt + Ve
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut diatas dikembangkan sejumlah formula untuk menghitung besarnya indeks reliabilitas, tingkat kesukaran, daya pembeda dan dugaan. Formula yang banyak digunakan dalam menghitung indeks reliabilitas menurut teori tes klasik adalah Spearman-Brown dan Cronbach-alpha.
Keunggulan Teori Tes Klasik terletak pada kemudahan dalam pemahaman konsepnya. Teori yang dibutuhkan untuk memahami konsep teori tes klasik relatif lebih mudah perhitungannya dibandingkan Teori Respon Butir.
Ukuran sampel pada Teori Tes Klasik tidak perlu besar, minimum 30 orang. Teori ini sudah berkmbang sehingga cukup banyak peneliti yang memahaminya dan menggunakannya.
Keunggulan lainnya adalah analisis butir soal dengan teori ini bisa dilakukan perhingungan menggunakan kalkulator yang sederhana sehingga mudah diterapkan pada skala kecil seperti kelas-kelas.
Disamping memiliki keunggulan, Teori Tes Klasik juga memiliki beberapa kelemahan. Menurut Mardapi (1991), hayat (1998) model Teori Tes Klasik didasarkan pada asumsi yang lemah, yakni asumsi yang dapat dipenuhi dengan oleh kebanyakan data tes.
Pertama, kebanyakan statistik yang digunakan model Teori Tes Klasik ini seperti Tingkat Kesukaran, Daya Pembeda dan lainnya sangat bergantung pada sampel yang digunakan dalam analisis. Rerata kemampuan , rentang, dan sebaran kemampuan subjek yang dijadikan sampel sangat mempengaruhi nilai statistik yang diperoleh.
Sebagai contoh: tingkat kesukaran soal akan tinggi bila sampel yang digunakan mempunyai kemampuan lebih tinggi dari rerata tingkat kemampan subjek. Daya Pembeda soal akan tinggi apabila tingkat kemampuan sampel yang digunakan sangat bervariasi atau mempunyai rentang kemampuan yang besar. Demikian pula koefisien reliablilitas sangat berkaitan dengan variabilitas skor yang dijadikan sampel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar