Keadaan ini terjadi karena MBS manjadi kebijakan pemerintah dalam upaya memajukan pendidikan di Indonesia. Dengan berlakunya MBS yang sudah diuji di berbagai Negara maju diharapkan terjadi kemajuan yang signifikan dalam pelaksanaan pendidikan nasional sehingga menghasilkan kinerja yang membanggakan.
Tetapi pembicaraan tentang MBS sekarang sudah cenderung “over estimate”; seolah-olah MBS merupakan manajemen sekolah yang paling sempurna, tidak ada jenis manajemen yang lain yang lebih baik dari pada MBS; dan bila sekolah menjalankan MBS dijamin keberhasilannya, oleh karena itu manajemen jenis ini diwajibkan bagi sekolah-sekolah kita. Padahal sebagaimana dengan system manajemen sekolah lainnya. MBS memiliki karakteristik dan kelemahan. Di Indonesia bahkan ada kendala potensial untuk menjalankan MBS.
Secara teroretis, kewenangan kapala sekolah bersifat penuh. Namun di dalam prakteknya kewenangan tersebut sering terkurangi oleh kebijakan-kebijakan yang di tentukan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Sebagai contoh konkrit, kepala sekolah sesungguhnya mempunyai kewenangan penuh untuk memilih kurikulum yang tepat bagi siswa akan tetapi pemerintah membuat kebijakan mengenai penyeragaman kurikulum (nasional) secara konkrit telah mengurangi kewenangan kepala sekolah.
Dalam konsep MBS, kepala sekolah berperan sebagai manajer. Dengan kewenangan yang dimilikinya seorang manajer bisa melakukan apa saja yang dianggap positif, konstruktif, relevan dan potensial untuk memajukan sekolah meskipun bersifat penuh bukan berarti terus terbatas.
Di dalam pengembangan konsep MBS di Indonesia maka oleh Tim Teknis MBS yang dibentuk secara bersama oleh Bappenas RI dan Bank Dunia (1998) telah diformulasi tawaran-tawaran lingkup strategi sesuai dengan kondisi sekolah di Indonesia. Dalam hal ini ada lima lingkup strategi yang di tawarkan. Adapun lingkup strategi yang ditawarkan oleh tim tersebut adalah sbb: (1) kurikulum yang bersifat inklusif dan berlaku bagi banyak sekolah, (2) proses belajar mengajar yang efektif dan efisien, (3) menciptakan lingkungan sekolah yang medukung, (4) menyiapkan sumber daya yang berasas pemerataan, serta (5) mengembangkan system standarisasi dalam berbagai hal tertentu, misalnya saja dalam hal monitoring, evaluasi dan tes.
Meskipun sekolah memilki kewenangan mengembangkan kurikulum secara penuh tetapi dalam tawaran tersebut di batasi pada kurikulum yang bersifat inklusif yang selama ini lebih dikenal dengan muatan lokal. Tegasnya, kurikulum nasional dikembangkan oleh pemerintah pusat sedangkan kurikulum lokal oleh sekolah.
Menyangkut proses belajar mengajar, kepala sekolah memiliki kewenangan yang luas. Sebagai manajer, kepala sekolah bisa mengatur guru, jam belajar, ruangan, komposisi siswa, dsb, sepanjang itu dilaksanakan untuk mengefektifkan proses belajar mengajar. Kepala sekolah juga bisa melakukan sesuatu untuk menciptakan lingkungan, Baik fisik maupun social,untuk memajukan sekolah. Sementara itu mengenai sumber daya, seperti guru, instructor, laboran, tenaga administrasi, dsb, kepala sekolah berhak menatanya untuk mencapai efektivitas yang memadai.
Mengenai standarisasi dalam hal tertentu, monitoring, evaluasi dan tes dapat dikerjakan oleh kepala sekolah setelah ada kesempatan terlebih dahulu dengan pemerintah pusat. Dengan perkataan lain kepala sekolah diberi kebebasan menjalankan menjalankan evaluasi misalnya, sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah yang sudah di tetapkan pemerintah pusat.
Bagi sekolah swasta, MBS bukan hal baru. Selama ini sekolah swasta sudah melaksanakan MBS. Mereka mencari dana operasional sendiri, menseleksikan kandidat guru, memilih siswa, mengatur jam belajar di sekolah, menata ruangan, serta memprioritaskan kegiatan akademik dan nonakademik yang harus dipilih. Kegiatan seperti ini merupakan indikasi dijalankannya MBS yang secara langsung mencerminkan kemandirian sekolah.
Sekarang ini konsep MBS terus disosialisasikan ke masyarakat, khususnya masyarakat sekolah. Meskipun demikian sesungguhnya sebagian sekolah di Negara kita, khususnya SD dan SMP, sudah agak lama menjalankan konsep menajemen persekolahan tersebut melalui manejemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS).
Praktek MBS sekolah-sekolah ternyata menghadapi kendalan cultural yang signifikan; khusunya menyangkut kreatifitas dan kemandirian civitas sekolah.
Selama ini kepala sekolah (negeri) utamanya di SD dan di SMP, sudahterbiasa bekerja “nunggu dawuh” (instruktif). Umumnya meraka melaksanakan sesuatu apabila ada instruksi dari atasan, apabila menyangkut hal-hal fundamental. Kebiasaan seperti ini tidak menumbuhkan kreatifitas dan kemandirian.
Kebiasaan kerja yang demikian itu ternyata juga terjadi pada para staf.banyak staf administratif, staf laboratorium, staf perpustakaan, dsb, menjalankan pekerjaan semata-mata menunggu instruksi kepala sekolah.
Ironisnya itu juga terjadi pada guru yang secara langsung berhubungan dengan anak didik. Banyak guru dalam mengajar hanya berdasar petunjuk baik menyangkut kurikulum, silabi, buku pegangan, sampai dengan metode mengajar di kelas. Banyak guru yang sama sekali tidak pernah membaca buku-buku berkait dengan mata pelajaran yang di ampuh di karenakan hanya mau membaca buku sesuai petunjuk. Itulah sebabnya kurikulum sekolah di Negara kita tidak pernah berkembang di lapangan, silabi kita mati, metode mengajar pada guru stagnan, dan kreavitas guru tak pernah berkembang.
Dengan melihat keadaan seperti itu sebenarnya konsep MBS tidak bisa diterapkan secara serta merta pada seluruh sekolahdi Indonesia. Dalam hal ini ada sekolah-sekolah tertentu yang cocok melaksanakan MBS, yaitu sekolah-sekolah yang setidak tidaknya memiliki SDM memadai; pada sisi lainnya pada sekolah-sekolah yang tidak cocok melaksanakan MBS dikarenakan kondisi cultural SDMnya yang tidak mendukung.
Konsep MBS konstruktif untuk memajukan pendidikan di Indonesia, meskipun hal itu bukan barang baru. Peranan konsep MBS untuk mecapai hasil yang optimal menghadapi banyak kendala,utamanya menyangkut kedala cultural meskipun pada dasarnya konsep MBS konstruktif tetapi tidak selalu cocok untuk keseluruan sekolah di Indonesia; maksudnya ada sekolah yang cocok tetapi ada pula yang tidak cocok unyuk menerapkan konsep MBS.
Prof. Dr. Ki Sufriyoko, M. Pd. Adalah Ketua 3 Majelis Luruh Tamansiswa serta Wakil Presiden Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE) yang bermarkas do Tokyo, Jepang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar