PUSKUD UNICEF ADMIN ANEKA ILMU E-DUKASI JARDIKNAS

Sekapur Sirih

Para pengunjung blog yang budiman, masa waktu dua belas bulan dalam tahun 2008 usai sudah telah kita lewati. Tak terasa, kini kita telah memasuki masa waktu yang baru di tahun 2009. Jika kita merenungi masa pada tahun 2008, maka nampak dalam benak kita suatu pertanyaan, prestasi apa yang telah kita capai pada saat itu? idealnya, tentu pertanyaan itu akan timbul kembali pada benak kita, apa pula prestasi yang akan kita raih pada tahun 2009 ini?

Sungguh pertanyaan-pertanyaan itu mengandung nilai-nilai motivasi. Adalah suatu nilai-nilai yang tersirat didalamnya menuju pada sebuah kata kunci “perubahan“. Perubahan ini kita konotasikan dengan kemajuan dalam alam lingkungan kehidupan. Dengan demikian, sasaran akhirnya adalah bagaimana mengisi trend kondisi dinamika yang lagi berkembang. Ini berarti merangsang kita untuk menciptakan suatu gebrakan “selangkah lebih maju“ dalam fenomena kehidupan ini.

Itulah yang mengilhami cara dan gaya berpikir PUSKAPLING dan SDN 1 Tilote yang ada di Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo. Pada tahun ini, tepatnya pada tanggan 12 bulan Januari 2009, PUSKAPLING bersama SDN 1 Tilote telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU), tentang Kerja Sama Penerapan Dan Pengembangan Teknologi Informasi Dan Komunikasi (TIK).

Semangat dan itikad kedua belah pihak ini, membuktikan, bahwa wujud keberadaan PUSKAPLING adalah sebuah cermin LSM yang tidak hanya mahir dalam memainkan kritik terhadap kebijakan yang ada. Namun dihadapan pemerintah, posisi PUSKAPLING disamping sebagai lembaga sosial kontrol kebijakan Pemerintah, sekaligus menjadi bentuk keterwakilan peran masyarakat.

Bentuk keterwakilan itu, adalah suatu keterwakilan yang memiliki kemampuan peran dalam memberikan sentuhan konsep berpikir untuk maju dan berkembang. Dengan demikian, eksistensi PUSKAPLING tidak hanya menjadi lembaga sosial kontrol semata, melainkan sebagai mitra Pemerintah dalam meningkatkan sumber daya manusia.

Oleh karena itu, konsep berpikir ini, jelas merupakan relevansi dari sikap menuju suatu perubahan selangkah lebih maju. Yaitu suatu sikap pembentuk prilaku yang respect terhadap trend kondisi dinamika teknologi, informasi, dan komunikasi yang lagi berkembang. Inilah yang mewarnai semangat cara dan gaya berpikir pihak manajemen SDN 1 Tilote.

Manajemen SDN 1 Tilote dalam menyikapi trend kondisi dinamika teknologi, informasi, dan komunikasi yang lagi berkembang itu, telah membuka diri terhadap kehadiran PUSKAPLING. Kehadiran PUSKAPLING bagi SDN 1 Tilote, dipercayakan dan diharapkan dapat menggenjot sumber daya manusia dari para anak didiknya, khususnya dibidang penguasaan Teknologi Informasi Dan Komunikasi (TIK).

Memperhatikan konsep berpikir dari PUSKAPLING dan prilaku manajemen SDN 1 Tilote yag senantiasa membuka diri itu, dapat disimpulkan inilah model kemitraan yang diharapkan dalam pendidikan. Karena hal itu merupakan nafas dari implementasi Pasal 8, 9, dan 10 sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.


SADIK GANI, SE

Information and Communication Technologi

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), begitulah terjemahan dari INFORMATION and COMMUNICATION TECHNOLOGI (ICT). Teknologi Informasi dan Komunikasi, adalah deretan tiga suku kata yang saat ini lagi akrab dibibir orang, khususnya di lingkungan pendidikan atau kelompok birokrasi, bahkan belakangan ini, juga termasuk golongan-golongan masyarakat tertentu.

Memahami Teknologi informasi dan komunikasi, tidak hanya menyandarkan pada pengertian tiga suku kata di atas. Tetapi lebih dari itu harus dipahami lebih dalam, mengapa tiga suku kata itu harus dipadu menyadi satu kalimat yang tidak dapat dipisahkan dalam pembelajaran TIK. Itu mengartikan, bahwa tiga kata dasar itu, masing-masing memiliki nilai kekuatan dan pengaruh tersendiri dalam peradaban kehidupan manusia.

Sebagai bukti yang logis dari kekuatan-kekuatan itu, yakni disadari atau tidak, bahwa aktivitas yang sedang berlangsung dilakukan manusia saat ini, pada hakikatnya adalah mengelola informasi yang diterima sebelumnya. Disadari atau tidak pula, bahwa keberadaan informasi itu sendiri lahir karena adanya komunikasi. Demikian pula terhadap komunikasi, itu dapat terjadi karena tidak lepas dari media (teknologi) sebagai alat pengantar maksud dan tujuan.

Beranjak dari pengertian-pengertian di atas, maka ICT atau TIK yang menjadi medan garapan ilmu pengetahuan dari ICT CLINIC di SDN 1 Tilote adalah; Teknologi Informasi dan Komunikasi, BUKAN “Informasi Komunikasi dan Teknologi“. Hal ini cukup beralasan, karena informasi komunikasi dan teknologi, pengertiannya adalah informasi tentang komunikasi dan informasi tentang teknologi. Dengan demikian informasi komunikasi dan teknologi, hanyalah terbatas pada pengetahuan saja, dan bukan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sifat dari informasi komunikasi dan teknologi, mudah ditemui atau diperoleh, hanya dengan cukup nonton televisi, dengar radio, maupun baca koran saja.

Sedangkan Teknologi Informasi dan Komunikasi adalah identik dengan ilmu pengetahuan. Yaitu teknologi tentang informasi dan teknologi tentang komunikasi. Karena itu pula, teknologi informasi dan komunikasi tidak terbatas pada pengetahuan saja, tetapi justru berada pada level garapan sebuah studi “ilmu pengetahuan”. Dengan sendirinya, untuk menguasai Teknologi Informasi dan Komunikasi, tidak semudah kita nonton televisi, dengar radio, ataupun baca koran. Melainkan diperoleh hanya melalui teori dan praktek pendidikan tertentu saja.

Pada unsur kata Teknologi, Informasi, Komunikasi inilah, mengapa ICT Clinic harus dihadirkan ditengah-tengah para anak didik sekolah yang ada di SDN 1 Tilote. Dengan TIK ini, para anak didik akan diarahkan pada pengenalan, penguasaan, dan pembentukan peradaban teknologi yang berbudaya.

Pengenalan, penguasaan, dan pembentukan peradaban teknologi pada tingkat anak didik ini, dimaksudkan karena alasan dinamika dunia pendidikan dan kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, untuk menuju pada suatu jenjang peradaban dunia pendidikan dan kehidupan yang lebih baik, ICT SDN 1 Tilote telah memiliki TAKTIK. Artinya; Tidak Ada Kehidupan yang baik (peradaban), tanpa menguasai Teknologi Informasi dan Komunikasi.

Muhajirin AHM

Kamis, 04 Juni 2009

MENUJU SISTEM PENDIDIKAN YANG MEMBERDAYAKAN

SEBUAH RENUNGAN

Oleh: Dr. Gunawan, Penasehat Ahli Politeknik PPKP Yogyakarta

A. Pendahuluan

Kata kunci yang membimbing hadirnya judul pidato ini adalah kata berdaya. Konsep berdaya ini terkait dengan memberdayakan manusia, manusia Indonesia, manusia bangsa Indonesia, manusia generasi muda bangsa Indonesia sebagai penerus bangsa yang berkesinambungan tanpa henti dan selamanya. Tampak bahwa konsep perberdayaan yang hendak disampaikan haruslah bersifat sistemik dan bukan sekedar sistematik, haruslah holistik dan bukan sekedar parsial, haruslah konsisten berkelanjutan dan bukan sekedar sporadik, dan dengan demikian harus terjelaskan secara mendasar, filosofis, dan hakiki. Terkait dengan hal-hal yang bersifat filosofis dan hakiki ini tentu saja wajar kalau sulit untuk diterima oleh semua orang karena filosofi seseorang dan/atau sekelompok orang memang bersifat prerogatif penuh tanpa dapat dikendalikan oleh siapapun.

Dengan kata lain, isi pidato ini tidak bertujuan untuk disetujui oleh semua orang, termasuk bagi hadirin di upacara dies ini, karena tujuan yang terdalam adalah membuka paradigma berpikir alternatif sehingga bangsa ini tidak terjebak pada satu cara pandang yang statis yang seolah-olah benar dan berlaku selamanya. Hal ini disampaikan mengingat banyak sudah para ahli dan/atau komunitas lain yang lebih banyak merasa kecewa tinimbang merasa puas terhadap jalan-nya sistem pendidikan di Indonesia, bahkan, sejumlah ahli sampai-sampai menggunakan istilah sistem pendidikan yang ada ini bersifat membodohkan masyarakat atau bangsa.

Isi pidato ini berintikan pemaparan konsep manusia, hidup manusia, kehidupan manusia, dan kaitan antara hidup manusia dan pendidikan manusia. Selanjutnya dicoba untuk memaparkan berbagai hubungan sebab-akibat antara pengaturan pendidikan di Indonesia dan realitas dampaknya, terutama dari sisi kelemahan sistem pengaturannya. Yang terakhir hendak disampaikan adalah sebuah pewacanaan solusi alternatif dari kegalauan pendidikan yang terjadi di Indonesia.

Uraian pada pidato ini menggunakan pendekatan kerangka berpikir logis (Logical Framework Approach) sehingga lebih menonjolkan logis tidaknya substansi yang disampaikan dan bukan menonjolkan sumber mana yang digunakan sebagai acuan. Asumsi yang mendasari pilihan pendekatan ini adalah bahwa, pada hakikatnya, setiap acuan tertentu selalu mendasarkan pada setting ruang dan waktu yang tertentu pula, dan tentu saja berbeda dengan setting yang senyatanya ada di Indonesia. Menurut penulis, keunikan (setting) permasalahan di Indonesia tidak mudah atau tidak akan terjelaskan secara cukup kalau hanya mengandalkan sumber-sumber acuan yang tidak digali dari sistem ke-Indonesia-an itu sendiri.

B. Hidup Manusia dan Pendidikan

Manusia adalah makhluk ciptaan tuhan yang paling sempurna. Letak kesempurnaan m6anusia ini dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaan Tuhan yang lain terletak pada kelengkapan kemampuannya, yaitu kemampuan berpikir, berbuat, dan merasa yang terpadu ke dalam keberadaan ruang dan waktu. Kemampuan berpikir yang paling hakiki manusia adalah kemampuan membedakan ruang dan/atau waktu. Kemampuan membedakan waktu ini memberi kemungkinan bagi manusia dapat menghubungkan fenomena di waktu lampau dengan hal yang sekarang dihadapinya dan menghubungkan fenomena diwaktu sekarang dengan hal-hal yang mungkin dihadapinya di waktu yang akan datang.

Perjalanan hidup manusia di dalam ruang dan waktu (lampau, sekarang, akan datang) yang membentuk kontinum (bukan terputus-putus) memposisikan manusia menjadi makhluk yang selalu telah, sedang, dan akan belajar dengan tiada henti sepanjang hayat (long life learning). Dalam keseluruhan perjalanan hidup seorang manusia, ketiga kemampuan tersebut di atas, yaitu kemampuan berpikir, berbuat, dan merasa/menilainya selalu dalam keadaan berubah.

Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia mengan­dung arti mempersiapkan manusia agar dapat hidup dalam masyarakat secara utuh baik sebagai makhluk indi­vidu, makhluk sosial, dan makhluk budaya yang beradab.

Hakikat hidup manusia adalah hak terbatas manusia menyusuri waktu. Hak menyu­suri waktu ini mulai berlaku ketika ia dilahirkan dan berakhir ketika ia dimatikan. Masalah tunggal manusia dalam penyusuran waktu hidupnya adalah berjumpa dengan masalah.

Fungsi tunggal hidup manusia dalam penyusuran waktu hidupnya adalah menyelesaikan ma­sa­­lah. Masalah di sini diartikan sebagai semua masalah yang dihadapi manusia dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, dan seterusnya. Esensi masalah adalah keberadaan manu­sia itu sendiri.

Modal bendawi pemecahan masalah hidup manusia adalah seluruh isi alam semesta yang telah diciptakan-NYA. Modal penggerak kerja pemecahan masalah hidup ma­nu­sia adalah otak dan hati (nurani) manusia sebagai “hardware” -nya atau akal dan akhlak manusia sebagai “software”-nya.

Sebagai bagian dari sistem pemecahan masalah, otak dan hati manusia tidak dapat langsung bekerja dengan sendirinya. Untuk dapat berfungsi sebagai sitem pemecahan masalah, otak dan hati manusia perlu dipersiapkan terlebih dahulu. Mempersiapkan otak manusia berarti mengisi otak dengan sistem pengetahuan dan sistem keterampil­an. Mempersiapkan hati manusia berarti mengisi hati manusia dengan sistem nilai moral.

Pengisian program pengetahuan ke otak manusia dilakukan melalui mekanisme peng­ajaran, pengisian program keterampilannya dilakukan melalui mekanisme pelatihan, dan pengisian program nilai ke hati nurani manusia dilakukan melalui mekanisme su­gesti nilai-nilai moral.

C. Hakikat Kerja Pendidikan

Berdasar pada pemikiran tentang hakikat hidup manusia dan hakikat pendidikan manusia seperti terurai di atas, berikut ini disampaikan butir-butir hakikat kinerja pendidikan sebagai implikasinya.

  • Hakikat kinerja pendidikan adalah bentuk dan isi pemrograman otak dan hati manusia dengan sistem pengetahuan dan keterampil­an serta sistem nilai moral.
  • Pemrograman sistem pengetahuan dan sistem keterampilan ke otak manusia dan sistem nilai moral ke hati manusia secara simultan si­nergis secara berkelanjutan-berkesinam­bungan merupakan tang­gung-jawab dari setiap bangsa dan negara yang beradab.
  • “Ada dan beradabkah bangsa dan negara Indonesia itu?” ataukah memang masih berada di antara ada dan tiada.
  • Kalau negara Indonesia itu benar-benar ada, kalau Depdiknas itu benar-benar ada, kalau ahli-ahli pendidikan di Indonesia benar-benar ada, kalau pemikir-pemikir bidang pendidikan Indonesia memang benar-benar ada, dan kalau cedekiawan pendidikan Indonesia itu benar-benar ada maka mereka semua dipersilahkan untuk menunjukkan kesejatian kinerja kependidikan bangsanya dalam bentuk program sis­tem pendidikan nasional Indonesia baru.
  • Sudah adakah program sistem pendidikan nasional Indonesia itu? Kalau belum ada, bagaimana mengadakannya? Kalau belum benar atau belum tepat, bagaimanakah membu­atnya lebih benar dan lebih tepat? Kalau sudah benar, apakah sudah efektif? Kalau sudah efektif, apakah sudahkah efisien? Dan sebagainya. Upaya mencari dan mengisi seluruh atau sebagian dari jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan tanggungjawab, tanggunggugat, sekali gus tantangan bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi komunitas pendidikan Indonesia.

D. Fenomena Dasar Pendidikan

1. Fenomena Konteks Waktu

Fenomena unik keberadaan unsur pendidik dalam konteks waktu adalah bahwa pendi­dik selalu dididik di waktu lampau, melaksanakan kerja pendidikannya di waktu sekarang, namun untuk mempersiapkan subjek didik dalam menghadapi kehidupan­nya di waktu yang akan datang (masing-masing sekian tahun untuk masing-masing tingkatan pendidikan).

Tantangan bagi pendidik yang baik adalah dimilikinya kesadaran bahwa mereka me­ru­pakan produk masa lalu yang memprogram subjek didik masa kini namun memper­siapkan subjek didik untuk menghadapi masa yang akan datang. Dengan demikian pendidik/guru harus memiliki kemampuan menyarikan pengalaman masa lalunya untuk diberikan kepada siswa masa kininya serta meyakinkan siswa masa kininya itu terhadap kegunaan pengalaman tersebut bagi kehidupan masa datang siswa yang bersangkutan.

Ada kecenderungan bahwa pendidik sulit me­mi­liki kemampuan perspektif terhadap kondisi ketika subjek didiknya telah terjun ke masyarakatnya di waktu yang akan datang. Pendidik cenderung menganggap (sadar atau tidak sadar) keadaan akan relatif tetap sehingga proses belajar-mengajar yang dikondi­sikannya kehilangan nilai-nilai futuristik yang justru diidealkan untuk dita­namkan.

Dari sisi subjek didik, keunikan masalahnya adalah dalam rentang waktu pen­didikannya yaitu dalam periode pemrograman otak dan hati subjek didik yang relatif panjang tersebut, bentuk dan bobot pemrograman pengetahuan, keterampilan, dan nilai ini masing-masing menuntut ketepatan dan kecermatan yang berbeda-beda. Kompleksitas dinamika komposisi pertumbuhan dan kepekaan ketiganya ini tampaknya merupakan kunci rahasia keberhasilan program pendidikan.

2. Fenomena Konteks Ruang (Tempat)

Permasalahan pokok pendidikan dalam konteks ruang akan muncul bila terjadi per­ubahan atau perpindahan ruang. Dalam konteks fisik perubahan ruang (space) dapat terjadi pada ruang dalam pengerti­an rumah, sekolah, desa, kota, kecamatan, kabupaten, propinsi dan beberapa yang lain, sedangkan perpindahan ruang dapat berbentuk dari rumah ke sekolah; dari TK ke SD, dari SD ke SLTA, dari SLTA ke PT; dari desa ke desa yang lain, dari kota ke kota yang lain, dari desa ke kota atau sebaliknya, dalam negeri ke luar negari atau sebaliknya. Bila konsep ruang ditingkatkan ke bentuk yang lebih abstrak maka permasalahan pen­didikan dapat pula terjadi pada perubahan atau perpindahan ruang (lingkup) dalam kon­teks etnik, sosial, budaya, dan atau kepercayaan, keyakinan, atau agama.

Perubahan atau perpindahan mengandung arti adanya perbedaan antara sebelum dan se­sudah berubah atau sebelum dan sesudah berpindah. Perubahan atau perpindahan selalu menciptakan masa dan atau kondisi transisi. Secara umum dapat dikatakan bah­wa masa dan atau kondisi transisi selalu bersifat atau bernuansa negatif atau merugikan atau pengeluaran tenaga dan atau daya ekstra. Jadi pada masa atau kondisi transisi inilah yang sesungguhnya menjadi kunci permasalah bagi manusia dalam hampir segala hal, termasuk dalam hal pendidikan. Di sisi lain, dalam realitas hidup dan kehi­dupan apapun, termasuk dalam hidup dan kehidupan sistem pendidikan, masa transisi selalu saja ada atau dapat muncul. Bobot masalah pada masa transisi ini tergantung pada kecuraman, lama waktu, dan keseringan dari kejadian transisi itu sendiri.

Terkait dengan masalah keberadaan transisi ini telahkah sistem pendidikan nasional yang ada mengamati, mencermati, dan mengantisipasinya. Tampaknya belum atau masih sangat sangat kurang.

Menggunakan logika kebalikan dapat diajukan kemungkinan dilakukannya alternatif yang justru meminimalkan adanya dan intensitas perubahan dan atau perpindahan itu sendiri. Rasionalnya adalah sistem pendidikan justru dirancang sede­mi­kian fleksibel sehingga bila ada perbedaan di lapangan justru bukan kondisi lapang­annya yang diubah melainkan justru pada batas-batas tertentu dari sistemnya yang dimodifikasi seperlunya. Misalnya penyesuaian mata didik (analogi mata pelajaran), metode didik, waktu dan ruang didik, dan atau sarana prasarana didik, dsb. Inilah inti masalahnya!?

Konsekuensi logis dari kandungan makna paragraf di atas, antara lain, adalah pember­la­kuan otonomi pendidikan dengan batas-batas tertentu; mempersiapkan contoh-contoh mekanisme penyesuaian atau modifikasi sistem; menanggalkan wacana keseragaman, sentralistik, keketatan format, keketatan output, dsb. seperti yang selama ini berlaku. Beranikah!? Sanggupkah!? Sebagian jawabannya mungkin akan tersirat dalam perja­lan­an pelaksanaan seminar ini. Waulahualam. Inilah inti solusi masalah!?

E. Realitas Pendidikan di Indonesia

Sejauh yang terintuisikan oleh penulis, keberadaan implementasi sistem pendidikan nasional Indonesia dan tidak dengan maksud menafikan segala pihak dan segala upaya yang telah dilakukan oleh semua yang selama ini, penulis melihat kele­mahan-kelemahan pokok Sistem Pendidikan Nasional selama ini adalah sebagai berikut.

Dasar filosofi atau pendekatan yang digunakan selama ini bertolak dari konsep “mera­sa bisa” dan/atau “merasa tahu” (Baca: Pendekatan positivistik) sebagai kontras dari pendekatan “bisa merasa” dan/atau “tahu merasa” (Baca: pendekatan Naturalistik).

Pendekatan “merasa bisa” atau “merasa tahu” termaksud mengandung arti bahwa para pihak yang selama ini kebetulan berkesempatan menentukan bentuk dan isi sis­tem pendidik­an nasional yang ada telah terjebak pada pola pendekatan rasionalitas deduktif sebagai akumulasi dari pengetahuan dan pengalaman terbatas dirinya dan atau pendidikan for­mal yang kebetulan didapatnya dari tempat-tempat yang bersangkutan mendapatkan pendidikan formal, khususnya dari negara-negara maju yang memang secara historis memiliki sistem sosial dan budaya yang berbeda dari yang ada di Indonesia.

Pendekatan “merasa bisa” atau “merasa tahu” termaksud dapat pula diartikan seba­gai tidak atau kurang terbukanya peluang untuk menggunakan pola pendekatan induk­tif yang justru akan lebih tepat digunakan manakala kenyataan yang dihadapi meru­pakan kompleksi­tas adanya keragaman, perbedaan, atau pluralitas keberadaan unsur dan faktor yang terkait dengan perencanaan, implementasi, evaluasi, dan refleksi terhadap sistem pen­didikan nasional yang dikembangkan.

Pendekatan “merasa bisa” atau “merasa tahu” termaksud dapat pula diartikan seba­gai dikenakannya kacamata kuda dalam memandang masalah sehingga sangat mem­per­­sem­pit kapasitas luas pandang yang tidak memungkinkan lagi dapat melihat adanya horizon yang lebih luas. Keadaan ini berakibat pada penafian terhadap sekian banyak ragam kenyataan yang sesungguhnya ada dan perlu diperhitungkan.

Keberadaan dan kehadiran pendekatan “merasa bisa” atau “merasa tahu” termaksud dapat dilihat dari seberapa tinggi kuantitas dan kualitas informasi dan atau data yang senyatanya telah, sedang, dan atau akan digali dari kenyataan adanya keragaman geo­grafis, sosial, dan budaya yang sedemikian luas di bumi nusantara ini yang digunakan secara operasional propor­sional dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, serta reflek­si sistem pendidikan di Indonesia. Nyatanya seberapa? Hadirin upacara ini diper­silahkan mencari jawabannya sendiri-sendiri.

Secara ringkas, dampak dari kebijakan yang ada adalah sebagai berikut.

  1. Formalitas melampaui hakiki.
  2. Administrasi mengendalikan kreasi.
  3. Pendekatan peraturan membunuh kreatifitas.
  4. Pendekatan etik mengendalikan emik.
  5. Perlu mekanisme apresiasi kreatifitas.
  6. Perlu mekanisme apresiasi prestasi.
  7. Pendekatan produk mengguncang proses.
  8. Birokrasi mengendalikan fungsi.
  9. Kebocoran dana karena pendekatan formalitas.
  10. Budaya arogansi jabatan, lembaga, struktural, disiplin, jurusan, kepangkatan, senioritas.
  11. Urgensi dan efisiensi dana.
  12. Kehilangan jiwa kependidikannya.
  13. Sitem peraturan dan pengaturan yang ada terjebak pada mengatur adalah tujuan dan bukan mengatur demi pemberdayaan.
F. Alternatif Kebijakan Pendidikan di Indonesia

Menggunakan analogi makna kebalikan dari “merasa bisa” atau “merasa tahu” maka sistem pendidikan nasional Indonesia baru haruslah menggunakan pendekatan “bisa merasa” atau “tahu merasa” yang hal ini tentu saja menuntut dilakukan dan terjadinya revolusi paradigma berpikir.

Pendekatan “bisa merasa” atau “tahu merasa” memiliki arti bahwa para penentu dan atau pelaku sistem pendidikan nasional Indonesia harus benar-benar bisa merasakan atau harus benar-benar tahu diri untuk merasakan adanya realitas keragaman dan atau perbedaan dalam sangat banyak aspek dari keberadaan unsur-unsur bangsa dan kebangsaan Indonesia yang tentu saja akan turut menentukan sistem kependidikan di Indonesia, dan mereka menyadari dan meyakini bahwa keragaman dan atau perbedaan yang tak mungkin tereliminasikan itu justru sebagai unsur kekuatan dari keberadaan bangsa dan negara Indonesia itu sendiri.

Keragaman geografis, etnis, keyakinan, sosial, dan budaya nusantara yang sangat kaya adalah suatu realitas yang harus disadari dan diyakini sebagai potensi ketahanan hidup dan kehidupan bangsa dan negara Indonesia itu. Di sisi lain, memang dapat dan perlu dimengerti serta diakui bahwa keragaman tersebut menuntut kerja ekstra hati-hati, ekstra cermat, dan ekstra komprehensif. Namun, inilah risiko dan sekaligus tantangan bagi warga bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara Republik Indonesia yang memang tidak ada dan tidak akan pernah ada duanya. Sungguh konyol dan sungguh tidak habis dimengerti bila ada warga bangsa Indonesia yang menyesali kenyataan keberadaan dasar bangsa dan negaranya sendiri. Atau, mungkin laknatlah mereka itu!?

G. Alternatif Pengaturan/Pengawasan Pendidikan di Indonesia

1. Pendahuluan

Era reformasi, yang berintikan perlunya terjadi perubahan sistem dari pemerintahan sentralistik ke desentralistik yang bersifat otonomis demokratis, telah mengguncang seluruh sistem kerja pemerintahan di segala bidang dan sektor, termasuk pula pada bidang pendidikan. Secara teoretik guncangan ini pastilah bersifat sementara dan akan bergerak menuju kesuatu keseimbangan baru yang sesuai dengan paradigma baru sistem pemerintahan yang memang telah terwacanakan pada diri masyarakat dan bangsa Indonesia ini.

Bentuk desentralisasi yang diharapkan terjadi atau muncul, sebagai produk reformasi, yang sekarang telah berada pada periode transisi, merupakan sub-era yang sangat kritis dan krusial. Sub-era transisi ini merupakan persimpangan menuju ke keadaan yang lebih baik atau justru ke keadaan yang lebih buruk, karena secara teoretik, pada era ini terjadi pertarungan konseptual antara filosofi pembaharuan dan filosofi kemapanan (status quo) baik pada kelompok-kelompok masyarakat yang memang memiliki visi dan misi berbeda, maupun pada suatu kelompok dengan visi dan misi yang sama, dan bahkan dapat pula terjadi pada diri orang perorang (masing-masing individu) sebagai akibat dari adanya dinamika dialektika berpikir dari masing kelompok masyarakat dan/atau individu yang bersangkutan.

Pada sub-era transisi ini, semua gagasan perubahan, baik mikro maupun makro, harus berhadapan dengan hambatan dan tantangan yang menuntut solusi yang justru tidak atau belum terkondisi oleh sistem yang ada, atau bahkan sistem yang ada inilah, pada hakikatnya, yang justru menjadi sumber dari munculnya hambatan dan tantangan terhadap upaya solusi yang diharapkan itu sendiri.

Dalam bidang pendidikan, masa transisi termaksud di atas telah berproses dengan produk utamanya adalah UU Sistem Pendidikan Nasional. Lepas dari bahwa UU ini memuaskan atau tidak memuaskan bagi berbagai lapisan masyarakat yang ada di Indonesia, UU Sisdiknas yang telah diundangkan tersebut harus dimanfaatkan untuk menjawab tantangan dan mencari solusi segala masalah pada bidang pendidikan, baik dari sisi internal maupun eksternal (antar bidang atai antar departemen).

Salah satu masalah yang ada pada bidang pendidikan adalah pada sub bidang pengawasan pendidikan dasar dan menengah. Misi pengawasan yang pada era sebelum reformasi terumuskan sebagai menguji, mengusut, dan menilai tentu saja tidak relevan atau bahkan bertentangan bagi upaya pengembangan pendidikan berbasis otonomi daerah karena salah satu karakteristik otonomi daerah adalah terbukanya peluang untuk berbuat yang berbeda berdasar kondisi nyata daerah yang bersangkutan sehingga dapat dicapai hasil yang optimal.

Paper ini mencoba menggali alternatif pemikiran dasar tentang prinsip atau arah dasar sistem pengawasan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia ini, khususnya pada sub-era transisi di mana semua daerah sedang bergelut dan bergulat untuk mendapatkan format pengawasan yang lebih baik setelah melepaskan diri atau terlepas dari sistem pengawasan yang sekian lama ada dan berlaku secara ketat atau liat baik secara stuktural maupun kultural.

2. Pengawasan Pendidikan

Pada era sebelum informasi pola sistem pengawasan adalah menguji, mengusut, dan menilai. Pola pengawasan ini lebih berjiwa tuntutan terhadap kriteria yang telah ditentukan atau dibakukan dan tidak menunjukkan dukungan bagaimana tututan itu sendiri dapat dipenuhi. Padahal, diketahui benar bahwa kondisi di lapangan masih sangat heterogen dan dengan rentang yang sangat tajam. Kelemahan konseptual pada pola ini adalah kehendak untuk membangun keseragaman keluaran tanpa melihat kenyataan bahwa kondisi yang dikenai kriteria keluaran sangat berbeda. Bukankah adalah suatu ilusi kalau dapat dibangun kesamaan keluaran dari kenyataan heterogenitas yang sangat tajam, kecuali terhadap kenyataan yang heterogen tajam tersebut diberi dukungan untuk mengurangi atau meniadakan heterogenitas tersebut.

Akibat dari tuntutan keluaran yang tidak masuk akal tersebut maka baik petugas pengawasan maupun pihak yang diawasi harus bermain kucing-kucingan dengan semangat memasukkan semaksimal mungkin data (yang sangat mungkin fiktif) agar institusinya selamat dari kritikan yang tak berkesudahan. Pihak yang diawasi berusaha menutupi sekuat mungkin kelamahan institusinya. Berusaha menonjolkan segala nilai yang sekecil apapun untuk menghibur atau mengelabui pihak pengawas. Kalau perlu diperpendek waktu pengawasannya atau bahkan kecermatan pengawasannya ”ditutup” dengan basa-basi, buah tangan, atau rupiah.

Era reformasi telah mengajak semua pihak untuk mengubah paradigma, namun paradigma baru ini masih kabur realisasi atau operasionalisasinya karena yang dimiliki memang baru paradigmanya dan belum diikuti oleh perangkat pendukung realisasinya. Di sisi inilah munculnya tantangan bagaimana seharusnya sistem pengawasan baru perlu dikembangkan, yaitu suatu sistem pengawasan yang dapat membuka hubungan timbal balik antara pengawas dan yang diawasi dengan semangat bersama bersama-sama ingin meningkatkan kualitas pendidikan yang ada.

3. Pemberdayaan Sistem Pendidikan

Pada hakikatnya tidak ada komunitas institusi pendidikan yang berpengharapan bahwa institusinya tidak maju, apalagi mundur. Namun realitas kondisi yang dihadapi oleh masing-masing institusi untuk mengembangkan atau memajukan institusinya memang sangat beragam baik dalam macam maupun bobotnya. Secara alami, semua institusi akan berupaya mengembangkan atau sekurang-kurangnya mempertahankan agar kualitas kinerja tidak menurun. Keberhasilan mereka sangat ditentukan oleh peluang atau potensi yang ada yang secara nyata melingkupi kinerja institusi tersebut masing-masing. Dengan demikian masing-masing institusi akan berhadapan dengan masing-masing setting kerja dan kinerjanya masing-masing pula.

Keragaman situasi dan kondisi setting masing-masing institusi ini pada galibnya menuntut inisiasi yang kreatif sejalan dengan kondisi atau setting masing-masing. Seni mengolah setting secara kreatif inilah nampaknya kunci peluang bagi institusi masing untuk mengembangkan dirinya. Namun, inisiasi kreatif ini tidak akan muncul atau sangat sulit untuk muncul kalau ketentuan-ketentuan yang diberlakukan terhadap institusi itu sangat ketat seperti yang selama ini diimplelemtasikan dalam bentuk pengawasan bergaya polisi yang berhadapan dengan penyeleweng ketentuan dan bukan bergaya orang tua yang mengasuh anaknya agar selalu dapat menyelesaikanmasalah yang dihadapi.

Dari uraian di atas tampaknya merupakan suatu imperatif untuk mengembangkan sistem pengawasan pendidikan yang justru memacu institusi yang diawasi untuk dapat menggali secara kreatif apapun yang ada dan potensial di setting masing-masing agar secara optimal dapat menunjang perkembangan institusi pendidikan yang menjadi tanggung-jawab dan tanggung-gugat dari puhak yang diawasi. Sementara gagasan ini dirumuskan sebagai sistem pengawasan penmdidkkan dasar dan menengah berbasis atau berwawasan pemberdayaan.

4. Pengawasan Berwawasan Pemberdayaan

Konsep berdaya terkait dengan setting ruang, waktu, dan kemampuan riil dari komunitas penyelenggara pendidikan dasar dan menengah. Dengan demikian, konsep pemberdayaan terkait pula dengan kemungkinan penggalian dan pemanfaatan segala kemampuan komunitas yang secara riil ada. Agar semangat dan etos kerja para penyelenggara selalu berkembang dan meningkat maka dasar penilaian dalam pengawasan mestinya berupa prestasi sebagai fungsi dari situasi dan kondisi setting masing-masing institusi penyelenggara.

Tentu saja tidak adil kalau yang dijadikan tolok ukur adalah keluaran (output) yang distandarkan karena kriteria output saja pada dasarnya tidak menyertakan bobot upaya dan tantangan yang dihadapi oleh masing-masing penghasil output. Jadi perlu dicari kriteria yang lain untuk memacu dan memicu perkembangan dan pertumbuhan kinerja komunitas penyelenggara pendidikan dasar dan menengah.

Secara selintas, kriteria tersebut perlu menekankan proses pencapaian keluaran dan dengan keluarannya sendiri perlu berorientasi pada keluaran yang bersifat outcome dan bukan output. Dapatkah hal ini dikembangkan? Jawabannya tentu saja perlu menggunakan sejumlah penelitian.

5. Lain-lain

Pemberdayaan: siswa atau mahasiswa, materi, guru atau dosen ke dalam proses menggunakan pendekatan, strategi, metode, teknik, taktik yang dalam setting ruang/waktu, sarana dan prasarana tertentu (beragam). Setting ini beragam dan dengan demikian pengelolaannya juga beragam dan tidak mungkin diseragamkan apalagi distandarkan pada tingkatan operasional namun busa dan harus diseragamkan dan mungkin distandarkan pada tingkat prinsip-prinsip dasar yang diturunkan dan akseptabel dari hakiki dan filosofi pendidikan itu sendiri yang tesurat dan tersirat pada perundangan yang lebih atau paling tinggi.

Adalah kemustahilan dan bahkan mungkin saja kedholiman pada setting (sekarang) yang sangat heterogen dituntut untuk membangun kesamaan/keseragaman atau standar output. Dengan demikian yang dapat disamakan adalah hal-hal yang bersifat generik misalkan proses bukan output, atau outcome dan bukan output.

Setting yang sangat heterogen lebih menuntut akuntabilitas daripada responsibilitas. Semua ketentuan ketat dari atas yang tidak atau belum sesuai dengan setting yang ada akan mengarahkan pada upaya-upaya semu non-komitmen yang sekedar untuk memenuhi permintaan (menghibur) bagi pembuatan ketentuan yang sangat mungkin tidak mengetahui atau mengenal situasi lapangan yang sesungguhnya.

Setting yang sangat heterogen, yang jauh dari kondisi ideal yang diturunkan dari teori-teori yang di- dan telah ber-kembang-kan dinegara-negara maju, justru menuntut kelonggaran ketentuan agar memberi peluang untuk mengembangkan solusi kreatif namun dikendalikan ketat pada pinsip-prinsip dasarnya sehingga akan mengarah pada tujuan-tujuan dasar yang diharapkan.

Kemajuan harus lebih menekankan outcome dan bukan output dan basis kriteria tanggungjawaqbnya haruslah bersifat akuntabilitas dari komunitas penyelenggara dan bukan pada responsibilitasnya. Kriteria outputnya harus bersifat generik, misalnya “gain”.

Dari uraian di atas maka filosofi sistem pengawasan sistem pendidikan yang diperlukan adalah pengasawasan yang berjiwa pemberdayaan dan bukan menguji, mengusut, dan menilai seperti prinsip yang digunakan Irjen selama ini.

Akhirnya, berikut ini disampaikan singkatan rantai pemikiran kehadiran sistem pengaturan/pengawasan pendidikan berbasis pemberdayaan.

  • Indonesia perlu maju
  • Pendididkan di Indonesia perlu maju
  • Maju identik dengan berdaya
  • Memajukan berarti memberdayakan
  • Kemajuan berarti keberdayaan
  • Berdaya berarti berkecerdasan
  • Memberdayakan berarti mencerdaskan
  • Cerdas dan kecerdasan bermakna sistemik, kreatif atau berdaya cipta, sehingga mampu menjadi pemecah masalah. Hal ini menuntut kriteria generik dan bukan standar pada output.
  • Pandai dan kepandaian bermakna sistematik, disiplin, daya kerja yang serba standar sehingga menjadi pekerja yang baik pada setting standar yang ada.

I. Penutup

Terkait dengan Dies Natalis Politeknik PPKP Yogyakarta, tampaknya slogan institusi ini yang berbunyi “Laskar Pendidikan Tanpa Batas” merupakan manifestasi dari semangat yang sama seperti yang telah diuraikan di atas. Namun demikian, seberapa kuat dan seberapa lama slogan itu dapat dipertahankan untuk menghadapi semua realitas kegalauan sistem pendidikan yang ada hanyalah waktu yang dapat mebuktikannya.

Perlu diingat bahwa tumpuan harapan dari suatu kerja yang melibatkan banyak pihak adalah adanya komitmen dari para pihak yang terlibat. Adapun asumsi filosofis yang mendasari harapan keberhasilan usaha ini adalah bahwa berdasar fitrohnya sebagai makhluk Tuhan maka tidak ada dan tidak akan ada manusia yang tidak meng­inginkan keba­hagiaan bersama. Tidakkah demikian?

Hal yang paling rawan dalam keberadaan komitmen adalah bahwa intensitas atau kualitas me­me­­domani komitmen itu sendiri dikendalikan sepenuhnya oleh para pihak yang terlibat masing-masing dan tidak seorang pun yang dapat mengenda­likannya. Pimpinan, pembina, atau pembim­bing tidak dapat memaksakan terlaksa­nanya suatu komitmen pada orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya. De­ngan kata lain tidak ada kata manipulasi atau inter­fensi langsung yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas memedomani komitmen bagi para pihak yang terlibat.

Akhirnya, penentu segala keberhasilan kerja bersama adalah kesadaran para pihak yang ter­libat. Kapan kita, saya, dan Anda memiliki kesadaran tersebut?! Hanya wak­tu yang dapat mem­buktikannya

Sumber : http://krp2.krpdiy.org

Tidak ada komentar:

Silabus Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Sekolah Dasar

Download Prediksi Soal Ujian Akhir Nasional (UAN) SD di Internet

Artikel singkat ini tentu saja akan berguna bagi para guru Sekolah Dasar (SD) yang sibuk mempersiapkan para siswanya menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN). Redaksi berkesempatan mengumpulkan link download soal-soal Ujian Akhir Nasional SD dari beberapa sumber, diantaranya dari Lembaga Bimbingan Belajar SSC (Sony Sugema College) dan beberapa sumber yang lain. Berikut ini daftar link download tersebut :

Terima kasih kepada semua pihak yang telah bersusah payah meng-upload file tersebut ke Internet. Semoga bermanfaat!

Belajar Bahasa Inggris Online

With the advance of information and technology, especially internet, the access to study English is open online widely. This is very helpful to develop our English competency. There are many internet sites providing English learning pages, and many of them are free of charges. Some sites that I collected from various sources.

Dengan kemajuan IT sekarang ini, terbuka dengan sangat lebar bagi kita untuk belajar bahasa Inggris secara on-line. Ini sangat membantu kita meningkatkan kemampuan bahasa Inggris kita. Terdapat banyak sekali situs situs yang menyediakan halaman-halaman pembelajaran bahasa Inggris, dan tidak sedikit diantaranya gratis.

silahkan klik link berikut ini :

ESL go Bell English Online English @ home English for Free ENGLISHonline.net Self-Study Quizzes for ESL Students (English Tests) ESL PartyLand–quiz center English Language Quizzes - UsingEnglish.com ESL test: English Grammar Tenses / Esl quiz Super Quiz Machine for ESL Students (English Test) ESL Quizzes,grammar quiz, ESL grammar quiz,Upper Intermediate Irregular Verbs - Spelling Quiz E. L. Easton - English - Exercises, Quizzes, Tests English Grammar for ESL Learners Grammar Activities (Ohio ESL) ESL - English Exercises and Quizzes English Grammar: Present Continuous Tense Quiz EnglishClub.com) English as a Second Language - Tenses Quiz English Language Quizzes - UsingEnglish.com ESL test: English Grammar Tenses / Esl quiz Learn English English Exercises Online! (by Lilliam Hurst) O N L I N E E X E R C I S E S - Grammar English Grammar Exercises Business English Lessons English Exercise - English Exercises E. L. Easton - English - Exercises, Quizzes, Tests

Tenses Quiz From English Page dot com

  1. Verb Tense Exercise 1 Simple Present and Present Continuous
  2. Verb Tense Exercise 2 Simple Present and Present Continuous
  3. Verb Tense Exercise 3 Simple Past and Past Continuous
  4. Verb Tense Exercise 4 Simple Past and Past Continuous
  5. Verb Tense Exercise 5 Simple Past and Present Perfect
  6. Verb Tense Exercise 6 Simple Past and Present Perfect
  7. Verb Tense Exercise 7 Present Perfect and Present Perfect Continuous
  8. Verb Tense Exercise 8 Present Perfect and Present Perfect Continuous
  9. Verb Tense Exercise 9 Present Continuous and Present Perfect Continuous
  10. Verb Tense Exercise 10 Present Continuous and Present Perfect Continuous
  11. Verb Tense Exercise 11 Simple Past and Past Perfect
  12. Verb Tense Exercise 12 Simple Past, Present Perfect, and Past Perfect
  13. Verb Tense Exercise 13 Past Perfect and Past Perfect Continuous
  14. Verb Tense Exercise 14 Present Perfect, Past Perfect, Present Perfect Continuous,
  15. Verb Tense Exercise 15 Tenses with durations
  16. Verb Tense Exercise 16 Present and Past Tenses with Non-Continuous Verbs
  17. Verb Tense Exercise 17 Present and Past Tense Review
  18. Verb Tense Exercise 18 Will and Be Going to
  19. Verb Tense Exercise 19 Will and Be Going to
  20. Verb Tense Exercise 20 Will and Be Going to
  21. Verb Tense Exercise 21 Simple Present and Simple Future
  22. Verb Tense Exercise 22 Simple Present and Simple Future
  23. Verb Tense Exercise 23 Simple Future and Future Continuous
  24. Verb Tense Exercise 24 Simple Present, Simple Future, Present Continuous, and Future Continuous
  25. Verb Tense Exercise 25 Future Perfect and Future Perfect Continuous
  26. Verb Tense Exercise 26 Future Perfect and Future Perfect Continuous
  27. Verb Tense Exercise 27 Future Perfect and Future Perfect Continuous
  28. Verb Tense Exercise 28 Future Perfect and Future Perfect Continuous
  29. Verb Tense Final Test Cumulative Verb Tense Review
  30. Verb Tense Practice Test Cumulative Verb Tense Review
  31. Verb Tense Exercise 1
  32. Verb Tense Exercise 2
  33. Verb Tense Exercise 3
  34. Verb Tense Exercise 4
  35. Verb Tense Exercise 5
  36. Verb Tense Exercise 6
  37. Verb Tense Exercise 7
  38. Verb Tense Exercise 8
  39. Verb Tense Exercise 9
  40. Verb Tense Exercise 10
  41. Verb Tense Exercise 11
  42. Verb Tense Exercise 12
  43. Verb Tense Exercise 13
  44. Verb Tense Exercise 14
  45. Verb Tense Exercise 15
  46. Verb Tense Exercise 16
  47. Verb Tense Exercise 17
  48. Verb Tense Exercise 18
  49. Verb Tense Exercise 19
  50. Verb Tense Exercise 20
  51. Verb Tense Exercise 21
  52. Verb Tense Exercise 22
  53. Verb Tense Exercise 23
  54. Verb Tense Exercise 24
  55. Verb Tense Exercise 25
  56. Verb Tense Exercise 26
  57. Verb Tense Exercise 27
  58. Verb Tense Exercise 28
  59. Verb Tense Final Test
  60. Verb Tense Practice Test

Open Source Popular:

Slackware Linux 12.2
Slackware Linux 12.2
Ubuntu 8.10 Intrepid Ibex
Ubuntu 8.10 Intrepid Ibex
Mandiva Linux 2009.0
Mandiva Linux 2009.0
CentOS 5.2
CentOS 5.2
Gentoo 2008.0R1 'It's got what plants crave'
Gentoo 2008.0R1 'It's got what plants crave'
openSUSE 11.1
openSUSE 11.1
Fedora 10 'Cambridge'
Fedora 10 'Cambridge'
Debian GNU/Linux 4.0 'Etch'
Debian GNU/Linux  4.0 'Etch'
FreeBSD 7.1 Release
FreeBSD 7.1 Release
Sabayon Linux 4r1
Sabayon Linux 4r1
PCLinuxOS 2007 Live/Install-CD
PCLinuxOS 2007 Live/Install-CD
Kubuntu 8.10 Intrepid IBex
Kubuntu 8.10 Intrepid IBex

Most Read Article