SEBUAH RENUNGAN
Oleh: Dr. Gunawan, Penasehat Ahli Politeknik PPKP Yogyakarta
A. Pendahuluan
Kata kunci yang membimbing hadirnya judul pidato ini adalah kata berdaya. Konsep berdaya ini terkait dengan memberdayakan manusia, manusia Indonesia, manusia bangsa Indonesia, manusia generasi muda bangsa Indonesia sebagai penerus bangsa yang berkesinambungan tanpa henti dan selamanya. Tampak bahwa konsep perberdayaan yang hendak disampaikan haruslah bersifat sistemik dan bukan sekedar sistematik, haruslah holistik dan bukan sekedar parsial, haruslah konsisten berkelanjutan dan bukan sekedar sporadik, dan dengan demikian harus terjelaskan secara mendasar, filosofis, dan hakiki. Terkait dengan hal-hal yang bersifat filosofis dan hakiki ini tentu saja wajar kalau sulit untuk diterima oleh semua orang karena filosofi seseorang dan/atau sekelompok orang memang bersifat prerogatif penuh tanpa dapat dikendalikan oleh siapapun.
Dengan kata lain, isi pidato ini tidak bertujuan untuk disetujui oleh semua orang, termasuk bagi hadirin di upacara dies ini, karena tujuan yang terdalam adalah membuka paradigma berpikir alternatif sehingga bangsa ini tidak terjebak pada satu cara pandang yang statis yang seolah-olah benar dan berlaku selamanya. Hal ini disampaikan mengingat banyak sudah para ahli dan/atau komunitas lain yang lebih banyak merasa kecewa tinimbang merasa puas terhadap jalan-nya sistem pendidikan di Indonesia, bahkan, sejumlah ahli sampai-sampai menggunakan istilah sistem pendidikan yang ada ini bersifat membodohkan masyarakat atau bangsa.
Isi pidato ini berintikan pemaparan konsep manusia, hidup manusia, kehidupan manusia, dan kaitan antara hidup manusia dan pendidikan manusia. Selanjutnya dicoba untuk memaparkan berbagai hubungan sebab-akibat antara pengaturan pendidikan di Indonesia dan realitas dampaknya, terutama dari sisi kelemahan sistem pengaturannya. Yang terakhir hendak disampaikan adalah sebuah pewacanaan solusi alternatif dari kegalauan pendidikan yang terjadi di Indonesia.
Uraian pada pidato ini menggunakan pendekatan kerangka berpikir logis (Logical Framework Approach) sehingga lebih menonjolkan logis tidaknya substansi yang disampaikan dan bukan menonjolkan sumber mana yang digunakan sebagai acuan. Asumsi yang mendasari pilihan pendekatan ini adalah bahwa, pada hakikatnya, setiap acuan tertentu selalu mendasarkan pada setting ruang dan waktu yang tertentu pula, dan tentu saja berbeda dengan setting yang senyatanya ada di Indonesia. Menurut penulis, keunikan (setting) permasalahan di Indonesia tidak mudah atau tidak akan terjelaskan secara cukup kalau hanya mengandalkan sumber-sumber acuan yang tidak digali dari sistem ke-Indonesia-an itu sendiri.
B. Hidup Manusia dan Pendidikan
Manusia adalah makhluk ciptaan tuhan yang paling sempurna. Letak kesempurnaan m6anusia ini dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaan Tuhan yang lain terletak pada kelengkapan kemampuannya, yaitu kemampuan berpikir, berbuat, dan merasa yang terpadu ke dalam keberadaan ruang dan waktu. Kemampuan berpikir yang paling hakiki manusia adalah kemampuan membedakan ruang dan/atau waktu. Kemampuan membedakan waktu ini memberi kemungkinan bagi manusia dapat menghubungkan fenomena di waktu lampau dengan hal yang sekarang dihadapinya dan menghubungkan fenomena diwaktu sekarang dengan hal-hal yang mungkin dihadapinya di waktu yang akan datang.
Perjalanan hidup manusia di dalam ruang dan waktu (lampau, sekarang, akan datang) yang membentuk kontinum (bukan terputus-putus) memposisikan manusia menjadi makhluk yang selalu telah, sedang, dan akan belajar dengan tiada henti sepanjang hayat (long life learning). Dalam keseluruhan perjalanan hidup seorang manusia, ketiga kemampuan tersebut di atas, yaitu kemampuan berpikir, berbuat, dan merasa/menilainya selalu dalam keadaan berubah.
Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia mengandung arti mempersiapkan manusia agar dapat hidup dalam masyarakat secara utuh baik sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk budaya yang beradab.
Hakikat hidup manusia adalah hak terbatas manusia menyusuri waktu. Hak menyusuri waktu ini mulai berlaku ketika ia dilahirkan dan berakhir ketika ia dimatikan. Masalah tunggal manusia dalam penyusuran waktu hidupnya adalah berjumpa dengan masalah.
Fungsi tunggal hidup manusia dalam penyusuran waktu hidupnya adalah menyelesaikan masalah. Masalah di sini diartikan sebagai semua masalah yang dihadapi manusia dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, dan seterusnya. Esensi masalah adalah keberadaan manusia itu sendiri.
Modal bendawi pemecahan masalah hidup manusia adalah seluruh isi alam semesta yang telah diciptakan-NYA. Modal penggerak kerja pemecahan masalah hidup manusia adalah otak dan hati (nurani) manusia sebagai “hardware” -nya atau akal dan akhlak manusia sebagai “software”-nya.
Sebagai bagian dari sistem pemecahan masalah, otak dan hati manusia tidak dapat langsung bekerja dengan sendirinya. Untuk dapat berfungsi sebagai sitem pemecahan masalah, otak dan hati manusia perlu dipersiapkan terlebih dahulu. Mempersiapkan otak manusia berarti mengisi otak dengan sistem pengetahuan dan sistem keterampilan. Mempersiapkan hati manusia berarti mengisi hati manusia dengan sistem nilai moral.
Pengisian program pengetahuan ke otak manusia dilakukan melalui mekanisme pengajaran, pengisian program keterampilannya dilakukan melalui mekanisme pelatihan, dan pengisian program nilai ke hati nurani manusia dilakukan melalui mekanisme sugesti nilai-nilai moral.
C. Hakikat Kerja Pendidikan
Berdasar pada pemikiran tentang hakikat hidup manusia dan hakikat pendidikan manusia seperti terurai di atas, berikut ini disampaikan butir-butir hakikat kinerja pendidikan sebagai implikasinya.
- Hakikat kinerja pendidikan adalah bentuk dan isi pemrograman otak dan hati manusia dengan sistem pengetahuan dan keterampilan serta sistem nilai moral.
- Pemrograman sistem pengetahuan dan sistem keterampilan ke otak manusia dan sistem nilai moral ke hati manusia secara simultan sinergis secara berkelanjutan-berkesinambungan merupakan tanggung-jawab dari setiap bangsa dan negara yang beradab.
- “Ada dan beradabkah bangsa dan negara Indonesia itu?” ataukah memang masih berada di antara ada dan tiada.
- Kalau negara Indonesia itu benar-benar ada, kalau Depdiknas itu benar-benar ada, kalau ahli-ahli pendidikan di Indonesia benar-benar ada, kalau pemikir-pemikir bidang pendidikan Indonesia memang benar-benar ada, dan kalau cedekiawan pendidikan Indonesia itu benar-benar ada maka mereka semua dipersilahkan untuk menunjukkan kesejatian kinerja kependidikan bangsanya dalam bentuk program sistem pendidikan nasional Indonesia baru.
- Sudah adakah program sistem pendidikan nasional Indonesia itu? Kalau belum ada, bagaimana mengadakannya? Kalau belum benar atau belum tepat, bagaimanakah membuatnya lebih benar dan lebih tepat? Kalau sudah benar, apakah sudah efektif? Kalau sudah efektif, apakah sudahkah efisien? Dan sebagainya. Upaya mencari dan mengisi seluruh atau sebagian dari jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan tanggungjawab, tanggunggugat, sekali gus tantangan bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi komunitas pendidikan Indonesia.
D. Fenomena Dasar Pendidikan
1. Fenomena Konteks Waktu
Fenomena unik keberadaan unsur pendidik dalam konteks waktu adalah bahwa pendidik selalu dididik di waktu lampau, melaksanakan kerja pendidikannya di waktu sekarang, namun untuk mempersiapkan subjek didik dalam menghadapi kehidupannya di waktu yang akan datang (masing-masing sekian tahun untuk masing-masing tingkatan pendidikan).
Tantangan bagi pendidik yang baik adalah dimilikinya kesadaran bahwa mereka merupakan produk masa lalu yang memprogram subjek didik masa kini namun mempersiapkan subjek didik untuk menghadapi masa yang akan datang. Dengan demikian pendidik/guru harus memiliki kemampuan menyarikan pengalaman masa lalunya untuk diberikan kepada siswa masa kininya serta meyakinkan siswa masa kininya itu terhadap kegunaan pengalaman tersebut bagi kehidupan masa datang siswa yang bersangkutan.
Ada kecenderungan bahwa pendidik sulit memiliki kemampuan perspektif terhadap kondisi ketika subjek didiknya telah terjun ke masyarakatnya di waktu yang akan datang. Pendidik cenderung menganggap (sadar atau tidak sadar) keadaan akan relatif tetap sehingga proses belajar-mengajar yang dikondisikannya kehilangan nilai-nilai futuristik yang justru diidealkan untuk ditanamkan.
Dari sisi subjek didik, keunikan masalahnya adalah dalam rentang waktu pendidikannya yaitu dalam periode pemrograman otak dan hati subjek didik yang relatif panjang tersebut, bentuk dan bobot pemrograman pengetahuan, keterampilan, dan nilai ini masing-masing menuntut ketepatan dan kecermatan yang berbeda-beda. Kompleksitas dinamika komposisi pertumbuhan dan kepekaan ketiganya ini tampaknya merupakan kunci rahasia keberhasilan program pendidikan.
2. Fenomena Konteks Ruang (Tempat)
Permasalahan pokok pendidikan dalam konteks ruang akan muncul bila terjadi perubahan atau perpindahan ruang. Dalam konteks fisik perubahan ruang (space) dapat terjadi pada ruang dalam pengertian rumah, sekolah, desa, kota, kecamatan, kabupaten, propinsi dan beberapa yang lain, sedangkan perpindahan ruang dapat berbentuk dari rumah ke sekolah; dari TK ke SD, dari SD ke SLTA, dari SLTA ke PT; dari desa ke desa yang lain, dari kota ke kota yang lain, dari desa ke kota atau sebaliknya, dalam negeri ke luar negari atau sebaliknya. Bila konsep ruang ditingkatkan ke bentuk yang lebih abstrak maka permasalahan pendidikan dapat pula terjadi pada perubahan atau perpindahan ruang (lingkup) dalam konteks etnik, sosial, budaya, dan atau kepercayaan, keyakinan, atau agama.
Perubahan atau perpindahan mengandung arti adanya perbedaan antara sebelum dan sesudah berubah atau sebelum dan sesudah berpindah. Perubahan atau perpindahan selalu menciptakan masa dan atau kondisi transisi. Secara umum dapat dikatakan bahwa masa dan atau kondisi transisi selalu bersifat atau bernuansa negatif atau merugikan atau pengeluaran tenaga dan atau daya ekstra. Jadi pada masa atau kondisi transisi inilah yang sesungguhnya menjadi kunci permasalah bagi manusia dalam hampir segala hal, termasuk dalam hal pendidikan. Di sisi lain, dalam realitas hidup dan kehidupan apapun, termasuk dalam hidup dan kehidupan sistem pendidikan, masa transisi selalu saja ada atau dapat muncul. Bobot masalah pada masa transisi ini tergantung pada kecuraman, lama waktu, dan keseringan dari kejadian transisi itu sendiri.
Terkait dengan masalah keberadaan transisi ini telahkah sistem pendidikan nasional yang ada mengamati, mencermati, dan mengantisipasinya. Tampaknya belum atau masih sangat sangat kurang.
Menggunakan logika kebalikan dapat diajukan kemungkinan dilakukannya alternatif yang justru meminimalkan adanya dan intensitas perubahan dan atau perpindahan itu sendiri. Rasionalnya adalah sistem pendidikan justru dirancang sedemikian fleksibel sehingga bila ada perbedaan di lapangan justru bukan kondisi lapangannya yang diubah melainkan justru pada batas-batas tertentu dari sistemnya yang dimodifikasi seperlunya. Misalnya penyesuaian mata didik (analogi mata pelajaran), metode didik, waktu dan ruang didik, dan atau sarana prasarana didik, dsb. Inilah inti masalahnya!?
Konsekuensi logis dari kandungan makna paragraf di atas, antara lain, adalah pemberlakuan otonomi pendidikan dengan batas-batas tertentu; mempersiapkan contoh-contoh mekanisme penyesuaian atau modifikasi sistem; menanggalkan wacana keseragaman, sentralistik, keketatan format, keketatan output, dsb. seperti yang selama ini berlaku. Beranikah!? Sanggupkah!? Sebagian jawabannya mungkin akan tersirat dalam perjalanan pelaksanaan seminar ini. Waulahualam. Inilah inti solusi masalah!?
E. Realitas Pendidikan di Indonesia
Sejauh yang terintuisikan oleh penulis, keberadaan implementasi sistem pendidikan nasional Indonesia dan tidak dengan maksud menafikan segala pihak dan segala upaya yang telah dilakukan oleh semua yang selama ini, penulis melihat kelemahan-kelemahan pokok Sistem Pendidikan Nasional selama ini adalah sebagai berikut.
Dasar filosofi atau pendekatan yang digunakan selama ini bertolak dari konsep “merasa bisa” dan/atau “merasa tahu” (Baca: Pendekatan positivistik) sebagai kontras dari pendekatan “bisa merasa” dan/atau “tahu merasa” (Baca: pendekatan Naturalistik).
Pendekatan “merasa bisa” atau “merasa tahu” termaksud mengandung arti bahwa para pihak yang selama ini kebetulan berkesempatan menentukan bentuk dan isi sistem pendidikan nasional yang ada telah terjebak pada pola pendekatan rasionalitas deduktif sebagai akumulasi dari pengetahuan dan pengalaman terbatas dirinya dan atau pendidikan formal yang kebetulan didapatnya dari tempat-tempat yang bersangkutan mendapatkan pendidikan formal, khususnya dari negara-negara maju yang memang secara historis memiliki sistem sosial dan budaya yang berbeda dari yang ada di Indonesia.
Pendekatan “merasa bisa” atau “merasa tahu” termaksud dapat pula diartikan sebagai tidak atau kurang terbukanya peluang untuk menggunakan pola pendekatan induktif yang justru akan lebih tepat digunakan manakala kenyataan yang dihadapi merupakan kompleksitas adanya keragaman, perbedaan, atau pluralitas keberadaan unsur dan faktor yang terkait dengan perencanaan, implementasi, evaluasi, dan refleksi terhadap sistem pendidikan nasional yang dikembangkan.
Pendekatan “merasa bisa” atau “merasa tahu” termaksud dapat pula diartikan sebagai dikenakannya kacamata kuda dalam memandang masalah sehingga sangat mempersempit kapasitas luas pandang yang tidak memungkinkan lagi dapat melihat adanya horizon yang lebih luas. Keadaan ini berakibat pada penafian terhadap sekian banyak ragam kenyataan yang sesungguhnya ada dan perlu diperhitungkan.
Keberadaan dan kehadiran pendekatan “merasa bisa” atau “merasa tahu” termaksud dapat dilihat dari seberapa tinggi kuantitas dan kualitas informasi dan atau data yang senyatanya telah, sedang, dan atau akan digali dari kenyataan adanya keragaman geografis, sosial, dan budaya yang sedemikian luas di bumi nusantara ini yang digunakan secara operasional proporsional dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, serta refleksi sistem pendidikan di Indonesia. Nyatanya seberapa? Hadirin upacara ini dipersilahkan mencari jawabannya sendiri-sendiri.
Secara ringkas, dampak dari kebijakan yang ada adalah sebagai berikut.
- Formalitas melampaui hakiki.
- Administrasi mengendalikan kreasi.
- Pendekatan peraturan membunuh kreatifitas.
- Pendekatan etik mengendalikan emik.
- Perlu mekanisme apresiasi kreatifitas.
- Perlu mekanisme apresiasi prestasi.
- Pendekatan produk mengguncang proses.
- Birokrasi mengendalikan fungsi.
- Kebocoran dana karena pendekatan formalitas.
- Budaya arogansi jabatan, lembaga, struktural, disiplin, jurusan, kepangkatan, senioritas.
- Urgensi dan efisiensi dana.
- Kehilangan jiwa kependidikannya.
- Sitem peraturan dan pengaturan yang ada terjebak pada mengatur adalah tujuan dan bukan mengatur demi pemberdayaan.
Menggunakan analogi makna kebalikan dari “merasa bisa” atau “merasa tahu” maka sistem pendidikan nasional Indonesia baru haruslah menggunakan pendekatan “bisa merasa” atau “tahu merasa” yang hal ini tentu saja menuntut dilakukan dan terjadinya revolusi paradigma berpikir.
Pendekatan “bisa merasa” atau “tahu merasa” memiliki arti bahwa para penentu dan atau pelaku sistem pendidikan nasional Indonesia harus benar-benar bisa merasakan atau harus benar-benar tahu diri untuk merasakan adanya realitas keragaman dan atau perbedaan dalam sangat banyak aspek dari keberadaan unsur-unsur bangsa dan kebangsaan Indonesia yang tentu saja akan turut menentukan sistem kependidikan di Indonesia, dan mereka menyadari dan meyakini bahwa keragaman dan atau perbedaan yang tak mungkin tereliminasikan itu justru sebagai unsur kekuatan dari keberadaan bangsa dan negara Indonesia itu sendiri.
Keragaman geografis, etnis, keyakinan, sosial, dan budaya nusantara yang sangat kaya adalah suatu realitas yang harus disadari dan diyakini sebagai potensi ketahanan hidup dan kehidupan bangsa dan negara Indonesia itu. Di sisi lain, memang dapat dan perlu dimengerti serta diakui bahwa keragaman tersebut menuntut kerja ekstra hati-hati, ekstra cermat, dan ekstra komprehensif. Namun, inilah risiko dan sekaligus tantangan bagi warga bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara Republik Indonesia yang memang tidak ada dan tidak akan pernah ada duanya. Sungguh konyol dan sungguh tidak habis dimengerti bila ada warga bangsa Indonesia yang menyesali kenyataan keberadaan dasar bangsa dan negaranya sendiri. Atau, mungkin laknatlah mereka itu!?
G. Alternatif Pengaturan/Pengawasan Pendidikan di Indonesia
1. Pendahuluan
Era reformasi, yang berintikan perlunya terjadi perubahan sistem dari pemerintahan sentralistik ke desentralistik yang bersifat otonomis demokratis, telah mengguncang seluruh sistem kerja pemerintahan di segala bidang dan sektor, termasuk pula pada bidang pendidikan. Secara teoretik guncangan ini pastilah bersifat sementara dan akan bergerak menuju kesuatu keseimbangan baru yang sesuai dengan paradigma baru sistem pemerintahan yang memang telah terwacanakan pada diri masyarakat dan bangsa Indonesia ini.
Bentuk desentralisasi yang diharapkan terjadi atau muncul, sebagai produk reformasi, yang sekarang telah berada pada periode transisi, merupakan sub-era yang sangat kritis dan krusial. Sub-era transisi ini merupakan persimpangan menuju ke keadaan yang lebih baik atau justru ke keadaan yang lebih buruk, karena secara teoretik, pada era ini terjadi pertarungan konseptual antara filosofi pembaharuan dan filosofi kemapanan (status quo) baik pada kelompok-kelompok masyarakat yang memang memiliki visi dan misi berbeda, maupun pada suatu kelompok dengan visi dan misi yang sama, dan bahkan dapat pula terjadi pada diri orang perorang (masing-masing individu) sebagai akibat dari adanya dinamika dialektika berpikir dari masing kelompok masyarakat dan/atau individu yang bersangkutan.
Pada sub-era transisi ini, semua gagasan perubahan, baik mikro maupun makro, harus berhadapan dengan hambatan dan tantangan yang menuntut solusi yang justru tidak atau belum terkondisi oleh sistem yang ada, atau bahkan sistem yang ada inilah, pada hakikatnya, yang justru menjadi sumber dari munculnya hambatan dan tantangan terhadap upaya solusi yang diharapkan itu sendiri.
Dalam bidang pendidikan, masa transisi termaksud di atas telah berproses dengan produk utamanya adalah UU Sistem Pendidikan Nasional. Lepas dari bahwa UU ini memuaskan atau tidak memuaskan bagi berbagai lapisan masyarakat yang ada di Indonesia, UU Sisdiknas yang telah diundangkan tersebut harus dimanfaatkan untuk menjawab tantangan dan mencari solusi segala masalah pada bidang pendidikan, baik dari sisi internal maupun eksternal (antar bidang atai antar departemen).
Salah satu masalah yang ada pada bidang pendidikan adalah pada sub bidang pengawasan pendidikan dasar dan menengah. Misi pengawasan yang pada era sebelum reformasi terumuskan sebagai menguji, mengusut, dan menilai tentu saja tidak relevan atau bahkan bertentangan bagi upaya pengembangan pendidikan berbasis otonomi daerah karena salah satu karakteristik otonomi daerah adalah terbukanya peluang untuk berbuat yang berbeda berdasar kondisi nyata daerah yang bersangkutan sehingga dapat dicapai hasil yang optimal.
Paper ini mencoba menggali alternatif pemikiran dasar tentang prinsip atau arah dasar sistem pengawasan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia ini, khususnya pada sub-era transisi di mana semua daerah sedang bergelut dan bergulat untuk mendapatkan format pengawasan yang lebih baik setelah melepaskan diri atau terlepas dari sistem pengawasan yang sekian lama ada dan berlaku secara ketat atau liat baik secara stuktural maupun kultural.
2. Pengawasan Pendidikan
Pada era sebelum informasi pola sistem pengawasan adalah menguji, mengusut, dan menilai. Pola pengawasan ini lebih berjiwa tuntutan terhadap kriteria yang telah ditentukan atau dibakukan dan tidak menunjukkan dukungan bagaimana tututan itu sendiri dapat dipenuhi. Padahal, diketahui benar bahwa kondisi di lapangan masih sangat heterogen dan dengan rentang yang sangat tajam. Kelemahan konseptual pada pola ini adalah kehendak untuk membangun keseragaman keluaran tanpa melihat kenyataan bahwa kondisi yang dikenai kriteria keluaran sangat berbeda. Bukankah adalah suatu ilusi kalau dapat dibangun kesamaan keluaran dari kenyataan heterogenitas yang sangat tajam, kecuali terhadap kenyataan yang heterogen tajam tersebut diberi dukungan untuk mengurangi atau meniadakan heterogenitas tersebut.
Akibat dari tuntutan keluaran yang tidak masuk akal tersebut maka baik petugas pengawasan maupun pihak yang diawasi harus bermain kucing-kucingan dengan semangat memasukkan semaksimal mungkin data (yang sangat mungkin fiktif) agar institusinya selamat dari kritikan yang tak berkesudahan. Pihak yang diawasi berusaha menutupi sekuat mungkin kelamahan institusinya. Berusaha menonjolkan segala nilai yang sekecil apapun untuk menghibur atau mengelabui pihak pengawas. Kalau perlu diperpendek waktu pengawasannya atau bahkan kecermatan pengawasannya ”ditutup” dengan basa-basi, buah tangan, atau rupiah.
Era reformasi telah mengajak semua pihak untuk mengubah paradigma, namun paradigma baru ini masih kabur realisasi atau operasionalisasinya karena yang dimiliki memang baru paradigmanya dan belum diikuti oleh perangkat pendukung realisasinya. Di sisi inilah munculnya tantangan bagaimana seharusnya sistem pengawasan baru perlu dikembangkan, yaitu suatu sistem pengawasan yang dapat membuka hubungan timbal balik antara pengawas dan yang diawasi dengan semangat bersama bersama-sama ingin meningkatkan kualitas pendidikan yang ada.
3. Pemberdayaan Sistem Pendidikan
Pada hakikatnya tidak ada komunitas institusi pendidikan yang berpengharapan bahwa institusinya tidak maju, apalagi mundur. Namun realitas kondisi yang dihadapi oleh masing-masing institusi untuk mengembangkan atau memajukan institusinya memang sangat beragam baik dalam macam maupun bobotnya. Secara alami, semua institusi akan berupaya mengembangkan atau sekurang-kurangnya mempertahankan agar kualitas kinerja tidak menurun. Keberhasilan mereka sangat ditentukan oleh peluang atau potensi yang ada yang secara nyata melingkupi kinerja institusi tersebut masing-masing. Dengan demikian masing-masing institusi akan berhadapan dengan masing-masing setting kerja dan kinerjanya masing-masing pula.
Keragaman situasi dan kondisi setting masing-masing institusi ini pada galibnya menuntut inisiasi yang kreatif sejalan dengan kondisi atau setting masing-masing. Seni mengolah setting secara kreatif inilah nampaknya kunci peluang bagi institusi masing untuk mengembangkan dirinya. Namun, inisiasi kreatif ini tidak akan muncul atau sangat sulit untuk muncul kalau ketentuan-ketentuan yang diberlakukan terhadap institusi itu sangat ketat seperti yang selama ini diimplelemtasikan dalam bentuk pengawasan bergaya polisi yang berhadapan dengan penyeleweng ketentuan dan bukan bergaya orang tua yang mengasuh anaknya agar selalu dapat menyelesaikanmasalah yang dihadapi.
Dari uraian di atas tampaknya merupakan suatu imperatif untuk mengembangkan sistem pengawasan pendidikan yang justru memacu institusi yang diawasi untuk dapat menggali secara kreatif apapun yang ada dan potensial di setting masing-masing agar secara optimal dapat menunjang perkembangan institusi pendidikan yang menjadi tanggung-jawab dan tanggung-gugat dari puhak yang diawasi. Sementara gagasan ini dirumuskan sebagai sistem pengawasan penmdidkkan dasar dan menengah berbasis atau berwawasan pemberdayaan.
4. Pengawasan Berwawasan Pemberdayaan
Konsep berdaya terkait dengan setting ruang, waktu, dan kemampuan riil dari komunitas penyelenggara pendidikan dasar dan menengah. Dengan demikian, konsep pemberdayaan terkait pula dengan kemungkinan penggalian dan pemanfaatan segala kemampuan komunitas yang secara riil ada. Agar semangat dan etos kerja para penyelenggara selalu berkembang dan meningkat maka dasar penilaian dalam pengawasan mestinya berupa prestasi sebagai fungsi dari situasi dan kondisi setting masing-masing institusi penyelenggara.
Tentu saja tidak adil kalau yang dijadikan tolok ukur adalah keluaran (output) yang distandarkan karena kriteria output saja pada dasarnya tidak menyertakan bobot upaya dan tantangan yang dihadapi oleh masing-masing penghasil output. Jadi perlu dicari kriteria yang lain untuk memacu dan memicu perkembangan dan pertumbuhan kinerja komunitas penyelenggara pendidikan dasar dan menengah.
Secara selintas, kriteria tersebut perlu menekankan proses pencapaian keluaran dan dengan keluarannya sendiri perlu berorientasi pada keluaran yang bersifat outcome dan bukan output. Dapatkah hal ini dikembangkan? Jawabannya tentu saja perlu menggunakan sejumlah penelitian.
5. Lain-lain
Pemberdayaan: siswa atau mahasiswa, materi, guru atau dosen ke dalam proses menggunakan pendekatan, strategi, metode, teknik, taktik yang dalam setting ruang/waktu, sarana dan prasarana tertentu (beragam). Setting ini beragam dan dengan demikian pengelolaannya juga beragam dan tidak mungkin diseragamkan apalagi distandarkan pada tingkatan operasional namun busa dan harus diseragamkan dan mungkin distandarkan pada tingkat prinsip-prinsip dasar yang diturunkan dan akseptabel dari hakiki dan filosofi pendidikan itu sendiri yang tesurat dan tersirat pada perundangan yang lebih atau paling tinggi.
Adalah kemustahilan dan bahkan mungkin saja kedholiman pada setting (sekarang) yang sangat heterogen dituntut untuk membangun kesamaan/keseragaman atau standar output. Dengan demikian yang dapat disamakan adalah hal-hal yang bersifat generik misalkan proses bukan output, atau outcome dan bukan output.
Setting yang sangat heterogen lebih menuntut akuntabilitas daripada responsibilitas. Semua ketentuan ketat dari atas yang tidak atau belum sesuai dengan setting yang ada akan mengarahkan pada upaya-upaya semu non-komitmen yang sekedar untuk memenuhi permintaan (menghibur) bagi pembuatan ketentuan yang sangat mungkin tidak mengetahui atau mengenal situasi lapangan yang sesungguhnya.
Setting yang sangat heterogen, yang jauh dari kondisi ideal yang diturunkan dari teori-teori yang di- dan telah ber-kembang-kan dinegara-negara maju, justru menuntut kelonggaran ketentuan agar memberi peluang untuk mengembangkan solusi kreatif namun dikendalikan ketat pada pinsip-prinsip dasarnya sehingga akan mengarah pada tujuan-tujuan dasar yang diharapkan.
Kemajuan harus lebih menekankan outcome dan bukan output dan basis kriteria tanggungjawaqbnya haruslah bersifat akuntabilitas dari komunitas penyelenggara dan bukan pada responsibilitasnya. Kriteria outputnya harus bersifat generik, misalnya “gain”.
Dari uraian di atas maka filosofi sistem pengawasan sistem pendidikan yang diperlukan adalah pengasawasan yang berjiwa pemberdayaan dan bukan menguji, mengusut, dan menilai seperti prinsip yang digunakan Irjen selama ini.
Akhirnya, berikut ini disampaikan singkatan rantai pemikiran kehadiran sistem pengaturan/pengawasan pendidikan berbasis pemberdayaan.
- Indonesia perlu maju
- Pendididkan di Indonesia perlu maju
- Maju identik dengan berdaya
- Memajukan berarti memberdayakan
- Kemajuan berarti keberdayaan
- Berdaya berarti berkecerdasan
- Memberdayakan berarti mencerdaskan
- Cerdas dan kecerdasan bermakna sistemik, kreatif atau berdaya cipta, sehingga mampu menjadi pemecah masalah. Hal ini menuntut kriteria generik dan bukan standar pada output.
- Pandai dan kepandaian bermakna sistematik, disiplin, daya kerja yang serba standar sehingga menjadi pekerja yang baik pada setting standar yang ada.
I. Penutup
Terkait dengan Dies Natalis Politeknik PPKP Yogyakarta, tampaknya slogan institusi ini yang berbunyi “Laskar Pendidikan Tanpa Batas” merupakan manifestasi dari semangat yang sama seperti yang telah diuraikan di atas. Namun demikian, seberapa kuat dan seberapa lama slogan itu dapat dipertahankan untuk menghadapi semua realitas kegalauan sistem pendidikan yang ada hanyalah waktu yang dapat mebuktikannya.
Perlu diingat bahwa tumpuan harapan dari suatu kerja yang melibatkan banyak pihak adalah adanya komitmen dari para pihak yang terlibat. Adapun asumsi filosofis yang mendasari harapan keberhasilan usaha ini adalah bahwa berdasar fitrohnya sebagai makhluk Tuhan maka tidak ada dan tidak akan ada manusia yang tidak menginginkan kebahagiaan bersama. Tidakkah demikian?
Hal yang paling rawan dalam keberadaan komitmen adalah bahwa intensitas atau kualitas memedomani komitmen itu sendiri dikendalikan sepenuhnya oleh para pihak yang terlibat masing-masing dan tidak seorang pun yang dapat mengendalikannya. Pimpinan, pembina, atau pembimbing tidak dapat memaksakan terlaksananya suatu komitmen pada orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya. Dengan kata lain tidak ada kata manipulasi atau interfensi langsung yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas memedomani komitmen bagi para pihak yang terlibat.
Akhirnya, penentu segala keberhasilan kerja bersama adalah kesadaran para pihak yang terlibat. Kapan kita, saya, dan Anda memiliki kesadaran tersebut?! Hanya waktu yang dapat membuktikannya
Sumber : http://krp2.krpdiy.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar