Guru adalah sosok mulia. Ia adalah pendidik dan pengajar bagi kita semua. Coba cari, pejabat mana yang tidak pernah dididik oleh guru. Pengusaha mana yang bisa berhitung tanpa pelajaran dari guru. Bahkan petani pun pernah merasakan diajari oleh guru.
Zaman dahulu, guru sangat dihormati. Bahkan sisa-sisa fosil penghormatan terhadap guru masih dilestarikan beberapa sekolah sampai sekarang. Misalnya para siswa diharuskan membungkuk bila lewat di depan guru. Berbicara kepada guru harus dengan tutur kata yang halus. Kata "ulun" dalam bahasa Banjar yang berarti aku dalam arti bahasa halus, harus diucapkan sebagai pengganti aku terhadap guru. Tapi sekarang banyak embel-embel yang ditambahkan di belakang sosok guru.
Di belakang nama "guru" yang begitu dihormati, sekarang diberi tambahan (embel-embel) bermacam - macam. Ada guru "PNS", guru "bantu", guru "bakti", guru "honda", guru "honor", dan lain-lain.
Kenapa hal ini saya katakan sebuah kemalangan. Apa kita tidak menyadari, bahwa sejatinya seorang guru haruslah tetap guru. Tanpa perlu ditambahi embel-embel seperti itu karena apapun jenisnya, tugas seorang guru sama, melepaskan muridnya dari sempitnya pemikiran, mengenalkan bahwa dunia ini sangat luas, memberitahukan bahwa banyak hal yang masih sang murid belum tahu.
Perbedaan embel-embel dibelakang nama guru ini berpengaruh langsung pada banyaknya pendapatan yang ia terima. Guru "PNS" memiliki pendapatan tetap yang lebih besar dari guru non "PNS". Jangan ditanya lagi bagaimana nasib guru yang ditambahi embel-embel "honor', "bantu", "honda", "bakti". Ada yang penghasilannya dalam sebulan hanya bisa menutupi kebutuhan hidup keluarganya untuk seminggu.
Seharusnya, jangan ada perbedaan embel-embel tersebut. Semua guru harus di gaji oleh negara (pen: PNS). Mengapa? karena pendidikan itu tanggung jawab negara. Jadi tugas negaralah menyelenggarakan pendidikan, menggaji guru dan sebagainya.
Tapi ada birokrat (yang sekaligus politisi merangkap pengusaha) berkilah: "negara kita tidak cukup anggaran untuk mengangkat semua guru menjadi PNS". Hebat juga argumen sang tokoh ini (memang orangnya pintar, karena telah dididik oleh guru). Tapi apa dia pernah menghitung, dana BLBI yang diberikan kepada para konglomerat hitam itu bisa dipakai untuk menggaji berapa ribu guru!. Apa dia tidak bisa mengkalkulasi, berapa ton emas dan tembaga dari tambang Freefort (yang jumlah pastinya bahkan pemerintah RI tidak tahu) itu jika dipakai menggaji guru bisa berapa banyak dan berapa tahun. Indonesia negara kaya, bung! tongkat saja ditanam di tanah Indonesia bisa menjadi tanaman, air menjadi kolam susu.
Seharusnya pemerintah kita lebih memberikan perhatian pada dunia pendidikan kalau ingin negara kita maju. Lihat negara Jepang yang luluh lantak setelah di bom atom pihak sekutu. Apa yang pertama kali dikatakan sang Kaisar untuk memulai membangun jepang kembali. Sang kaisar berkata: "Berapa jumlah guru yang masih hidup?". Bukannya berapa uang kita yang masih tersisa. Bukan pula berapa tentara kita yang masih kuat memanggul senjata. Mengapa sang Kaisar pertama-tama mencari para guru? Karena ia sadar, tidak mungkin membangun bangsa melalui pembangunan ekonomi. Tapi membangun bangsa melalui pendidikan. Lihat saja hasilnya sekarang, bagaimana Jepang menjadi negara superpower. Bahkan Amerika Serikat (yang dulunya mengalahkan Jepang dalam perang) sendiri kewalahan bersaing dengan Jepang dalam dunia perdagangan.
Jadi jangan heran melihat negara kita, Indonesia tercinta ini. Kekayaan alam melimpah, tapi tidak bisa mengelola (sehingga banyak yang jatuh ke tangan asing). Penduduknya banyak, tapi takut dengan negara tetangga yang lebih kecil. Industrinya banyak juga, tapi hanya sebatas merakit bahan dari luar negeri. Jarang industri yang muatan lokalnya lebih banyak dari muatan luar negeri.
Begitu pula masalah korupsi merajalela. Dari pejabat yang tinggi, sampai kepala desa bahkan ketua RT terbiasa melakukan korupsi. Bahkan ada istilah, jika tidak ikut korupsi maka akan tersisih lingkungan pekerjaan.
Masalahnya dimana? Ya masalah di atas tadi: kurangnya perhatian terhadap dunia pendidikan di negara kita. Anggaran pendidikan saja kita adalah yang terkecil di antara negera-negara tetangga (yang sebenarnya sama saja miskinnya dengan Indonesia).
Akibatnya, pendidikan tidak dapat menjadi pendorong utama kemajuan bangsa. Bahkan ada sindiran dari negara lain bahwa mutu lulusan Perguruan Tinggi kita ini masih kurang di banding mereka. Buktinya: banyak mahasiswa yang ingin melanjutkan kuliah di luar negeri harus melalui serangkaian pendidikan lagi sebelum masuk kuliah. (Tanya Kenapa?).
Akhirnya, kalau ditanya bagaimana mengatasi berbagai masalah bangsa ini, jawaban dari saya (dari kacamata pendidik) gampang saja: Majukan dunia pendidikan! maka bangsa ini akan maju, akan dihormati di mata dunia, tidak lagi menjadi negara yang terkenal dengan sebuatan "Negara Eksportir Pembantu".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar